SAMBUTAN PROF. DJOKO SARYONO
Dalam acara Halal Bihalal Keluarga Perpustakaan Universitas Negeri Malang, Jumat 11 Juli 2016, aku membaca sambutan seperti berikut.
SESUDAH LEBARAN
Sesudah puasa Ramadan sebulan dan merayakan lebaran begitu gegap gempita; mengucap selamat Idul Fitri kepada rekan sekerja, pimpinan, kenalan, dan handai tolan dengan aneka rupa cara, gaya, dan pintalan kata-kata; dan tentu saja mengunjungi keluarga, sanak saudara, kerabat, dan sahabat dengan macam-macam kiat biar selamat, beroleh berkat, dan nikmat; di manakah diri kita sekarang berada?; seperti apakah diri kita sekarang? Karena puasa dan lebaran seharusnya mengolah diri manusia menjadi cahaya, apakah diri kita sudah bermandi cahaya yang sanggup menjelajahi bukit-bukit cahaya, bahkan membubung ke langit tinggi tiada terperi, lalu menjangkau sidratul muntaha yang berlambangkan pohon bidara dengan dedaunan semua makhluk semesta, ruang berada Sang Cahaya Mahacahaya, Sang Cahaya di Atas Segala Cahaya? Ataukah diri kita kembali seperti semula: hanya menjadi manusia yang tersaruk-saruk, terantuk-antuk, bahkan terbungkuk-bungkuk mengarungi kehidupan bumi akibat kehilangan lentera yang cahayanya mendamaikan sesama manusia, gara-gara puasa dan lebaran hanya sekadar mendapat lapar dan dahaga, bukan metamarfosa diri manusia?
Apakah diri kita sudah menjadi lentera mungil atau lilin-lilin kecil yang sanggup memijarkan terang cahaya sejati bagi kelangsungan dan keselamatan hidup sesama manusia di dunia dan setelahnya? Ataukah tetap membopong dan menggendong kegelapan yang menjadikan kehidupan kita dirundung mendung, akibat puasa dan lebaran tak bisa mengubah diri kita bercahaya atau menjelma cahaya? Apakah diri kita telah menjadi suar mungkin bagi keselamatan, keberlangsungan, dan keberlanjutan alam semesta terutama bumi kita? Ataukah tetap suka menggarong dan membopengi alam semesta sampai bolong-bolong, bahkan rusak di sana-sini, hingga bumi atau planet kita di ambang bahaya?
Tengoklah, pulanglah ke dalam diri sendiri karena puasa dan idul fitri bermakna harus bisa memulangkan diri kita kepada cahaya sejati, yang letaknya ada di relung sanubari, yang kodratnya senantiasa hangat mengasihi, dan yang jalannya silaturahmi: bisa berupa halal bihalal yang sudah mentradisi. Bila mampu pulang ke dalam diri sendiri kita niscaya bersua jalan cahaya menuju sumber cahaya sejati. Bila kita bisa tiba di singgasana sumber cahaya sejati, kita mengalami mandi cahaya sejati, bahkan menjelma menjadi cahaya itu sendiri. Kita pun bakal mampu mencahayai bumi atau menerangi jalan menuju singgasana Cahaya Mahacahaya.
Di manakah kita harus menemukan cahaya sejati di dalam kehidupan bumi yang penuh warna-warni? Seorang wali Tanah Jawa yang senantiasa kita kasihi, Sunan Bonang asmanya, telah beratus tahun lampau bertamsil janur kupat. Kendati ada pelbagai pemaknaan atas frasa janur kupat, salah satu kepanjangannya yang populer adalah: sejating nur ono ing laku papat: lebar, lebur, luber, dan labur. Terjemahannya cahaya sejati ada dalam empat perilaku manusia. Maka, jika kita saban tahun hanya sibuk lebar-an, bisa jadi kita manusia yang tak pernah naik tingkatan, tiada mengalami perubahan dan kemajuan. Biar diri kita meraih perubahan dan kemajuan kehidupan, bahkan peningkatan maqam kehidupan, marilah kita semarakkan lebur-an, luber-an, dan bahkan labur-an dalam tiap langkah kehidupan kita: kehidupan keluarga, kehidupan masyarakat, dan kehidupan lembaga kita.
Sebagai sesama manusia, marilah kita menyudahi atau me-lebar-kan segenap persengketaan, pertikaian, dan permasalahan yang ada. Marilah kita menyirnakan, menghancurkan, dan memusnahkan atau me-lebur-kan segala purba sangka, wasangka, kebencian, dan nista sebagai sesama agar senantiasa indah dan baik kehidupan bersama, bahkan dunia. Marilah kita meluapkan atau me-luber-kan kasih sayang, cinta, kebaikan, keindahan, dan kebahagiaan kepada sesama supaya dunia dan manusia bertabur kedamaian senantiasa. Dan marilah kita mempersolek, memperindah, dan menghiasi atau me-labur-i kehidupan kita dengan kebaikan, keindahan, dan kebahagiaan agar kehidupan bersama bermandikan cahaya.
Untuk itu, marilah kita tingkatkan ibadah ghairu mahdah (luar ritual), tak cuma ibadah mahdah (ritual). Kehidupan dunia, bangsa, masyarakat, keluarga, dan lembaga kita tak bakal banyak berubah hanya dengan ibadah mahdah. Kemajuan dunia, bangsa, masyarakat, keluarga, dan lembaga kita memerlukan ibadah ghairu mahdah kita yang tak kenal lelah. Maka, marilah kita bekerja tak kenal lelah, karena berkerja adalah paras cantik ibadah, demi kemajuan lembaga kita di samping demi kemaslahatan dunia, bangsa, masyarakat, dan keluarga. Maka, marilah kita tingkatkan kinerja, lantaran kinerja yang memesona, yang bermaslahat bagi lembaga kita, adalah ibadah mulia.
Bukankah bekerja dan kinerja sangat dihormati dan dijunjung tinggi oleh Rasulallah Muhammad kita? Bahkan Rasulallah Muhammad dengan suka cita menciumi tangan-tangan kasar dan kotor yang menggambarkan rajin bekerja dan bagus berkinerja. Ingatlah, pada suatu ketika Rasulallah bertanya kepada seorang umatnya, Saad namanya. Begini pertanyaannya: mengapa tanganmu kotor begitu? Saad menjawab, karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku. Kemudian Rasulallah Saw mengambil tangan Saad dan menciumnya seraya berkata: ‘Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh oleh api neraka’ (Hadis Riwayat HR Thabrani).
Sesudah lebaran kali ini semoga hadirin dijauhkan dari api neraka karena jauh lebih tekun bekerja dan tinggi kinerja. Selepas lebaran ini semoga hadirin semua senantiasa bermandi cahaya sejati, bahkan tengah bermetamarfosa menjelma cahaya: cahaya kebaikan, cahaya kedamaian, cahaya keindahan, dan cahaya kebahagiaan bagi kehidupan bersama. Sebagai cahaya atau insan bermandi cahaya, hadirin semua bakal leluasa membubung tinggi, pulang kepada sumber cahaya sejati: di situ semoga semua hadirin bersua cahaya Muhammad, dan tangan-tangan hadirin semua diciumi oleh Rasulallah tiada henti. Amin.
Malang, 11 Juli 2016
Salam takzim,
Djoko Saryono