PENGGARONG MUNCUL DI SERAMBI
Cerpen Karya Devilla Eka Pratiwi
Dahulu, bangunan raksasa dengan asap kehitaman yang mengepul di atasnya itu tidak pernah ada. Setidaknya bangunan itu tidak pernah ada di kampungku. Dahulu, kampungku tidak pernah terjamah tangan-tangan asing.
Dahulu pula, sebelum berdiri bangunan raksasa dengan asap kehitaman yang mengepul di atasnya itu, kawan-kawan bapak selalu menyempatkan diri bertandang ke rumah kami. Sekadar melepas lelah sehabis berada di hutan, atau menikmati suguhan singkong goreng buatan ibu. Rumah kami sudah sesak dihuni tiga orang dan sekoloni rayap mengeram di dalam tanah. Kedatangan kawan-kawan bapak semakin menambah sesak rumah kami. Semenjak bangunan raksasa dengan cerobong asap yang selalu mengepul di atasnya itu dibangun, tidak pernah kulihat kawan-kawan bapak bertandang ke rumah kami lagi. Begitu pun pandangan warga desa yang berbeda pada keluarga kami.
Sebelum bangunan raksasa itu muncul, bapak dan kawan-kawannya setiap hari menyempatkan diri mengunjungi hutan yang terletak di pinggir kampungku. Aku pun diajaknya serta. Bapak menggendongku di belakang, membuatku bisa mencium aroma tubuh bapak. Sesekali kupetik cabai yang telah matang, kukulum layaknya permen yang biasa dijajakan seorang tua ketika melintas di depan rumah. Bosan dengan cabai kubuang saja, lalu kupetik yang lainnya, entah itu daun-daunan atau biji pohon melinjo yang masih menggantung. Untung saja, bapak tidak melihatku. Jika bapak melihatku, beliau pasti akan berkata,”Jangan begitu, kamu tidak boleh memetiknya sembarangan.”
Aku diam saja. Pikirku, apa salahnya memetik daun-daunan itu. Asyik sekali menyobek menjadi kecil-kecil dan membuangnya begitu saja. Lagi pula tidak ada orang yang akan memanfaatkan tumbuhan itu.
Sesampainya di tengah hutan, bapak akan mengajak kawan-kawannya menuju sungai. Di mana ada mata air jernih yang berasal dari pegunungan menyambut kami. Bapak akan menurunkanku dan membiarkanku bermain kecipak air di bawah air terjun kecil. Sesudah itu bapak dan kawan-kawannya akan bercengkerama di bawah pohon rindang sambil menikmati bekal yang dibawa.
Begitulah kulihat aktifitas mereka di hutan ini. Kukira tidak ada yang mereka lakukan di dalam hutan, selain itu. Kadang-kadang bapak juga membawa pisang, untuk diberikan pada siamang.
Suatu kali tatkala aku sedang asyik menggelitiki telinga bapak dengan tumbuhan kumis kucing, terdengar suara berdebam sangat keras. Menggetarkan tanah tempatku berpijak. Sepertinya ada sesuatu yang runtuh dan menghantam bumi.
Bapak seketika tersentak. Beberapa kawannya berdiri dan langsung mencari asal suara itu berasal, begitu pula bapak. Tak lupa, beliau menggendongku di belakang. Tak jauh dari tempat kami beristirahat, beberapa gerombolan pekerja membelah pohon besar yang rubuh. Suara gergaji mesin memekakkan telingaku. Cepat-cepat kututup kedua telinga ini dan merapatkan diri pada punggung bapak. Tapi bapak menurunkanku, lalu bergegas menghampiri mereka.
Beberapa kali kudengar bapak terlibat adu mulut dengan beberapa pekerja itu. Hampir saja mereka saling adu jotos, bila tidak segera dilerai salah seorang kawan bapak. Seorang dari mereka yang berpakaian agak rapi menghampiri bapak, menyerahkan sebuah amplop yang langsung ditolak bapak. Aku tidak tahu apa isi amplop itu sehingga bapak menolaknya mentah-mentah.
“Kalau kalian tidak segera pergi dari sini, akan kulaporkan kalian!” ancam bapak saat itu. Mereka pun pergi. Kulihat, seorang yang berpakaian agak rapi itu memandang bapak dengan kesal dan penuh kebencian.
“Mereka siapa Pak?” tanyaku saat bapak menghampiri dan langsung menggendongku lagi.
“Kalau kamu sudah besar nanti, jangan jadi seperti mereka yang hanya bisa mengambil saja. Butuh waktu bertahun-tahun untuk menumbuhkannya kembali.” Bapak tidak langsung menjawab pertanyaanku.
Sehari setelah kejadian itu, rumahku kedatangan tamu. Tapi bukan kawan-kawan bapak. Melainkan pak Kades dan seorang lagi yang berpakaian rapi dan berdasi. Mereka mencari bapak.
Aku menguping pembicaraan mereka dari balik dinding kamarku. Seorang yang berpakaian rapi itu, memperkenalkan dirinya sebagai orang yang ditunjuk pemerintah melaksanakan proyek pembangunan di kampungku.
“Kedatangan kami ke mari adalah untuk meminta kerjasama dari Bapak agar menyukseskan rancangan pembangunan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Kami meminta kerjasama dari Bapak agar mau mendukung suksesnya pembangunan tersebut.”
“Saya sudah mengerti maksud Bapak datang kemari. Tapi jangan harap saya bersedia untuk bekerja sama dengan Bapak dalam hal ini.”
“Kalau begitu, berapa kami harus membayar?”
“Saya bukan orang yang bisa Bapak suap seenaknya. Sampai mati pun, tidak akan saya serahkan hutan itu kepada bapak!” Kudengar intonasi suara bapak meninggi.
“Bapak jangan munafik. Saya tahu Bapak butuh uang untuk makan anak dan istrimu. Ini proyek pemerintah. Bapak mau melawan pemerintah?”
“Bukankah pemerintahan ini sudah sakit?”
Kudengar terjadi adu mulut antara bapak dan orang itu. Sesekali pak Kades menimpali dan menjadi penengah. Cukup lama perdebatan terjadi di antara mereka. Sampai kemudian bapak mengusir orang itu secara halus dari rumah kami. Semenjak peristiwa itu bapak dan kawan-kawannya lebih sering berkumpul di rumah kami. Apalagi kalau bukan membahas mengenai peristiwa itu. Kadang-kadang pula mereka membicarakan perpolitikan di negeri ini. Banyaknya PHK yang terjadi di kota, dan harga barang yang terus naik saat ini. Dari seorang kawan lama yang merantau di kota, bapak memperoleh informasi bahwa di kota sedang terjadi demonstrasi mahasiswa besar-besaran. Mereka menuntut adanya reformasi.
“Para mahasiswa itu berjuang, kita juga harus berjuang,” kata bapak pada teman-temannya.
Namun lambat laun, satu per satu kawan-kawan bapak berkurang jumlahnya. Satu per satu menghilang, tiada kabar. Sampai pada suatu ketika mereka habis sama sekali. Semenjak saat itu tidak pernah kudengar suara kawan-kawan bapak bercengkerama di rumah kami. Pada suatu malam bapak datang dengan wajah ditekuk. Bapak langsung menemui ibu dan berkata padanya,“Kadir bercerita padaku bahwa orang proyek itu telah berhasil mengiming-imingi mereka dengan sebuah amplop putih. Setelah orang proyek itu berhasil membujuk kawan-kawanku, sebentar lagi mereka pasti akan membujuk warga desa. Aku yakin kades kita juga turut berperan melancarkan proyek itu.” Aku mendengarkan percakapan mereka dari lubang kunci yang mengarah ke ruang tengah. Mungkin yang dimaksud bapak orang proyek itu, orang yang berpakaian rapi dan berdasi, yang datang bersama pak Kades kemarin.
Entah darimana asalnya, mungkin karena bapak keseringan keluar malam menemui kawan-kawannya, bapak jatuh sakit. Kata ibu bapak hanya masuk angin. Namun firasatku mengatakan bahwa bapak bukan terkena masuk angin. Ibu terpaksa menjual berbagai peralatan rumah tangga untuk ditukar dengan obat bapak. Satu per satu benda berharga di rumah kami berkurang.
Pada suatu malam, orang proyek itu datang lagi, bersama pak Kades. Kali ini ibu yang menghadapi mereka.
“Kudengar, suamimu sakit. Sakit apa dia?”
“Hanya masuk angin biasa Pak,” jawab ibu datar.
“Kenapa tidak segera di bawa ke rumah sakit?”
“Cuma masuk angin kok. Nanti juga sembuh.”
“Jangan sepelekan masuk masuk angin. Berbahaya. Apa kau masih punya uang?” Kali ibu tidak segera menjawab. Orang proyek yang sama, seperti yang saat itu datang pertama kali ke rumah kami, mengeluarkan sebuah amplop.
“Kami masih ada sisa uang. Bapak tidak perlu repot-repot,” kata ibu menolak. Padahal kutahu dari mana ibu punya uang, untuk makan saat ini saja pas-pasan. Beberapa kali orang proyek itu membujuk ibu dan ibu tetap saja menolaknya. Mungkin bapak yang menyuruh ibu sebelumnya. Barangkali bapak tahu jika uang itu diterima, berarti kita kalah.
Selepas mereka pergi, ibu segera menemui bapak yang terbaring di ranjang besi warisan nenek. Kulihat ibu menggenggam erat jari-jemari bapak. Bapak seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi suaranya tak dapat didengar ibu.
“Orang proyek itu telah berhasil membujuk warga desa. Sebentar lagi mereka akan membuka hutan dan melaksanakan pembangunan pabrik itu. Seperti yang pernah kau ucapkan bila orang itu datang, jangan pernah menerima apa pun yang ia berikan. Aku menuruti apa yang kau katakan Mas. Tapi melihatmu dalam kondisi seperti ini, ingin aku memanggil orang itu kembali dan menerima apa yang ditawarkannya.” Kulihat ada perasaan menyesal di wajah ibu.
“Kau tahu filsafat lilin? Lilin menerangi kegelapan dan membiarkan dirinya sendiri terbakar.” Bapak berkata seolah dengan sisa-sisa kekuatannya. Aku yang berada di samping ibu tak mengerti dengan ucapan bapak. Saat itu kulihat genggaman tangan bapak mulai mengendur disusul mata bapak yang mulai terpejam.
“Jangan tinggalkan aku Mas. Aku tidak ingin kehilangan kamu!” pekik ibu dan saat itu mata bapak benar-benar terpejam.
Nama : Devila Eka Pratiwi
Fak/Jurusan : Sastra/Sastra Indonesia
No Hp : 085736075740